Melaksanakan shalat jum’at adalah Fardhu ‘ain bagi setiap
muslim, kecuali lima orang : Hamba sahaya, wanita, anak-anak, orang yang sakit,
atau Musafir. Allah berfirman dalam (QS. Al Jumua’ah : 9)
Dari Thariq bin Syihab, dari Nabi beliau bersabda :
“ Shalat jum’at dengan berjama’ah wajib bagi setiap muslim
kecuali empat : Hamba Sahaya, wanita , anak-anak, atau orang sakit” [HR. Abu
Daud/ 942,(sunan Abi Daud)]
Dari Ibnu Umar, dari Nabi Beliau bersabda :
“ Shalat jum’at tidak wajib bagi musafir” [HR. Ad
Daruquthni/ II no 4]
A. Anjuran untuk melaksanakannya
Dari Abu Hurairah, dari Nabi Beliau bersabda :
“ Barangsiapa mandi, kemudian datang ke Masjid untuk shalat
jum’at, lalu shalat sunnah (semampunya). Setelah itu diam mendengarkan
khutbah hingga selesai, kemudian shalat berjama’ah, maka diampuni dosanya
ketika itu hingga jum’at yang akan datang , dan di lebihkan tiga hari” [ HR.
Muslim (II/857)]
Dan juga Darinya, dari Nabi Beliau bersabda :
“ Shalat lima waktu, dari shalat jum’at ke shalat jum’at
yang lain, dan dari puasa Ramadhan ke puasa Ramadhan yang lain adalah penghapus
dosa-dosa kecil di antara waktu tersebut selama tidak melakukan dosa besar” [
HR. Muslim (I/233)].
B. Peringatan agar tidak menyepelekan
Dari Ibnu Umar dan Abu Hurairah, mereka berdua mendengar
Rasulullah bersabda di atas mimbar :
“Hendaklah orang-orang benar-benar berhenti meninggalkan
shalat jum’at. Atau Allah akan menutup hati mereka sehingga mereka benar-benar
menjadi orang-orang yang lalai” [HR. Muslim (II/8650)].
Dari Abu Ja’d Adh- Dhamri, Rasulullah bersabda :
“ Barangsiapa meninggalkan tiga kali shalat jum’at karena
menyepelekannya, Allah akan menutup hatinya” [HR.Abu Daud/ 923]
Dari Usamah bin Zaid, dari Nabi Beliau bersabda :
“ Barangsiapa meninggalkan tiga kali shalat jum’at tanpa
udzur, maka ia dicatat dalam golongan orang-orang munafiq” [HR.At Thabrani
(I/4220).
C. Waktunya
Waktunya sebagaimana shalat Dzuhur, namun di bolehkan
sebelumnya.
Dari Anas :” Nabi shalat Jum’at ketika matahari sedang
tergelincir” [HR. Bukhari (II/904)].
Dari Jabir bin Abdullah. Ia di tanya, “ Kapan Rasulullah
shalat jum’at ? Ia menjawab : “ Setelah Bliau melakukan shalat tersebut ,
lantas kami mendatangi unta-unta kami. Lalu kami menjalankannya sedang
matahari tergelincir” [HR.Muslim (II/8580)].
D. Khutbah
Hukumnya wajib. Karena Beliau
senantiasa malakukannya dan tidak pernah meninggalkannya sama sekali.
E. Petunjuk Nabi dalam khutbah
Rasulullah bersabda :
“ Sesungguhnya panjangnya shalat dan singkatnya khutbah
seorang menunjukan kefaqihannya (kefahamannya). Maka panjangkanlah shalat dan
persingkatlah khutbah. Sesungguhnya kata-kata yang indah ibarat sihir” [HR.
Muslim (II/869)].
Dari Jabir bin Samurah, ia berkata, “Aku pernah shalat
bersama Nabi selama beberapa kali. Shalat dan khutbah Beliau seimbang” [HR.
Muslim (II/886)].
Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata : “ Jika Rasulullah
berkhutbah , kedua mata Beliau memerah, suaranya meninggi dan semangatnya
berkobar. Seolah-olah Beliau memperingatkan pasukan sambil berkata, “ Musuh
kalian akan datang pagi dan petang” [HR.Muslim (II/866)].
F. Khutbatul Haajah
Rasulullah mengawali khutbah , nashihat dan ceramah serta
berbagai pelajarannya dengan khutbah ini, yaitu yang di kenal dengan Khutbatul
Haajah. Redaksinya seperti berikut ini :
إن
الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا وسيئات أعمالنا ،
من يهده الله فلا
مضل له ومن يضلل فلا هادي له .
وأشهد
أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له ، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله
(QS. Ali Imran : 102)
(QS. An Nisaa’ : 1)
(QS. Al Ahzab : 70-71)
أما
بعد :
فإن
أصد ق الحديث كتاب الله ، وخير الهدي هدي محمد صلى الله عليه وسلم ، وشر الأمور
محدثاتها ،
وكل محدثة بدعة ، و كل بدعة ضلالة ،
وكل ضلالة في النار
G. Wajibnya diam dan larangan berbicara ketika khutbah berlangsung
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda : “ Jika pada hari
jum’at, saat khatib sedang berkhutbah engkau berkata kepada temanmu “ diam”,
maka engkau telah melakukan perbuatan yang sia-sia” [HR. Ibnu Majah /911]
H. Kapan seseorang dianggap masih mendapatkan Shalat Jum’at
Shalat jum’at terdiri dari dua raka’at yang dikerjakan secara
berjama’ah. Barangsiapa meninggalkan jama’ah shalat jum’at karena memang tidak
wajib baginya atau ada halangan , maka ia shalat Dzuhur empat raka’at.
Barangsiapa mendapati satu raka’at shalat jum’at bersama imam, maka ia
mendapatkan shalat jum’at.
Dari Abu Hurairah, Nabi bersabda : “ Barangsiapa mendapati
satu raka’at dari shalat jum’at, maka ia telah mendapatkan shalat” [HR. An
Nasa’i (III/122)].
I. Shalat Sunnah sebelum dan sesudah Shalat Jum’at
Dari Abu Hurairah, dari Nabi bersabda : “ Barangsiapa
mandi, kemudian datang ke Masjid untuk shalat jum’at, lalu shalat sunnah
(semampunya). Setelah itu diam mendengarkan khutbah hingga selesai,
kemudian shalat berjama’ah, maka diampuni dosanya ketika itu hingga jum’at yang
akan datang , dan di lebihkan tiga hari” [ HR. Muslim (II/857)]
Barangsiapa datang sebelum rangkaian shalat jum’at
dimulai, maka hendaklah shalat sunnah semampunya hingga imam tiba. Adapun
seusai shalat jum’at, maka boleh shalat empat atau dua rakaat sesuai keinginan.
Dari Abu Hurairah ,ia mengatakan bahwa Rasulullah bersabda : “
Jika salah seorang di antara kalian telah melaksanakan shalat jum’at, maka
hendaklah shalat empat raka’at sesudahnya” [HR. Muslim (II/882)].
Dari Ibnu Umar, Nabi tidak shalat setelah jum’at hingga
Beliau pulang dan shalat dua raka’at di rumahnya” [ Muttafaqun’alaihi].
J. Adab-adab pada hari Jum’at
J.1. Mandi
Dari Salman Al Farisi, ia mengatakan bahwa Nabi bersabda :
“ Tidaklah seorang laki-laki mandi pada hari jum’at, lalu bersuci dengan
sebaik-baiknya . setelah itu memakai wangi-wangian dari rumahnya. Kemudian
keluar (menuju masjid), tidak memisahkan antara dua orang, lalu shalat sunnah
semampunya. Lantas diam ketika imam berkhutbah,melainkan diampuni dosanya
antara jum’at itu dan jum’at lainnya” [HR. Bukhari (II/883)].
Dari Abu Hurairah, ia mengatakan bahwa Rasulullah bersabda :
“Jika hari jum’at tiba, maka tiap pintu-pintu masjid terdapat para
Malaikat. Mereka mencatat orang-orang berdasarkan kedudukan mereka. Yang datang
pertama mendapat kedudukan pertama. Jika Imam duduk, maka mereka menutup lembar
catatan dan masuk untuk mendengar khutbah. Perumpamaan orang yang datang awal
waktu seperti orang yang berkurban dengan Unta. Setelah itu seperti orang yang berkurban
dengan Sapi. Kemudian seperti orang yang berkurban dengan Domba . lalau seperti
berkurban Ayam. Berikutnya seperti berkurban Telur” [HR. Muslim (II/850)]
J.2. Hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha) bertepatan dengan
hari Jum’at
Jika hari raya terjadi (bertepatan) pada hari jum’at,maka
gugurlah kewajiban shalat Jum’at bagi yang telah melakukan shalat ‘Ied.
Dari Zaid bin Arqam, ia berkata : “ Nabi shalat ‘Ied
kemudian memberikan keringanan dalam shalat jum’at, Beliau bersabda : “
Barangsiapa ingin shalat, maka shalatlah “ [HR. Ibnu Majah/ 1082].
Disunnahkan agar Imam mendirikan shalat Jum’at agar orang yang
ingin melaksanakannya dan orang yang tidak shalat ‘Ied melaksanakannya.
Dari Abu Hurairah , Nabi bersabda : “ Pada hari ini telah
berkumpul dua hari raya. Barangsiapa telah melakukan shalat ‘Ied, maka ia boleh
meninggalkan shalat Jum’at. Namun kami akan melakukan shalat Jum’at” [HR. Ibnu
Majah/1083].
Wallahu’alam
(Oleh : Al-Ustadz Abdul Mu’thi, Lc.)
Shalat Jum’at hukumnya wajib berdasarkan dalil dari
al-Qur’an, as-Sunnah, dan ijma’ (kesepakatan) ulama.
Adapun dalil dari al-Qur’an adalah firman Allah Subhanahu
wata’ala,
يَآاَيُّهَاالَّذِيْنَ
ءٰمَنُوْآإِذَانُوْدِيَ لِلصَّلٰوةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا اِلٰى
ذِكْرِ اللهِ وَذَرُواالْبَيْعَ ۗ
“Hai orang-orang beriman, apabila diseruuntuk menunaikan
shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah
jual beli.” (al-Jumu’ah: 9)
Segi pendalilan dari ayat di atas tentang wajibnya
Jum’atan adalah Allah Subhanahu wata’ala memerintahkan
bergegas/bersegera, sedangkan yang dituntut oleh perintah adalah perkara wajib.
Sebab, (tentu) tidaklah sesuatu diharuskan bergegas selain untuk hal yang
wajib. Dalam ayat di atas, Allah Subhanahu wata’ala juga melarang
berjual beli ketika azan Jum’at telah dikumandangkan agar seseorang tidak
tersibukkan dari Jum’atan. Andaikata Jum’atan tidak wajib, tentu Allah Subhanahu
wata’ala tidak melarang jual beli saat Jum’atan. (lihat al-Mughni 3/158,
Ibnu Qudamah)
Adapun dalil dari as-Sunnah, adalah hadits yang secara
tegas menunjukkan wajibnya Jum’atan, yaitu hadits Thariq bin Syihab dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam,
الْجُمُعَةُ
حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِ أَرْبَعَةً: عَبْدٌ
مَمْلُوْكٌ، أَوِ امْرَأَةٌ، أَوْ صَبِيٌّ، أَوْ مَرِيْضٌ
“Jum’atan adalah hak yang wajib atas setiap muslim
dengan berjamaah, selain atas empat (golongan): budak sahaya, wanita, anak
kecil, atau orang yang sakit.” (HR. Abu Dawud dalam as-Sunan no. 1067.
An-Nawawi rahimahullah menyatakannya sahih dalam al-Majmu’ 4/349,
demikian pula al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 3111)
Adapun ijma’ ulama, Ibnul Mundzir rahimahullah
menukil adanya ijma’ tentang wajibnya Jum’atan dalam dua kitab beliau, yaitu
al-Ijma’ dan al-Isyraf, sebagaimana disebutkan oleh an-Nawawi t dalam al-Majmu’
SyarhulMuhadzab (4/349).
Keutamaan Shalat Jum’at
Anugerah Allah Subhanahu wata’ala kepada
hamba-hamba-Nya sangat banyak dan tidak terhingga. Di antara anugerah tersebut
adalah shalat Jum’at yang dikerjakan oleh hamba.
Di samping mendatangkan pahala, shalat Jum’at juga
menjadi pembersih dosa antara
Jum’at tersebut dan Jum’at berikutnya, sebagaimana hadits Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda,
مَنِ
اغْتَسَلَ ثُمَّ أَتَى الْجُمُعَةَ فَصَلَّى مَا قُدِرَ لَهُ ثُمَّ أَنْصَتَ
حَتَّى يَفْرُغَ مِنْ خُطْبَتِهِ ثُمَّ يُصَلِي مَعَهُ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ
وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ الْأُخْرَى وَفَضْلُ ثَلَاثَةٍ أَيَّامٍ
“Barangsiapa mandi kemudian mendatangi Jum’atan, lalu
shalat (sunnah) yang ditakdirkan (dimudahkan) Allah Subhanahu wata’ala baginya,
sertadiam sampai (imam) selesai dari khutbahnya dan shalat bersamanya,
diampuni baginya antara Jum’at itu hingga Jum’at berikutnya, ditambah tiga
hari.” (Shahih Muslim, Kitabul Jum’ah)
Ancaman bagi Orang yang Meninggalkan Jum’atan
Melaksanakan shalat Jum’at adalah syiar orang-orang
saleh, sedangkan meninggalkannya adalah pertanda kefasikan dan kemunafikan yang
mengantarkan pada kebinasaan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,
لَيَنْتَهِيَنَّ
أَقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمُ الْجُمُعَاتِ أَوْ لَيَخْتَمِنَّ اللهُ عَلَى
قُلُوْبِهِمْ ثُمَّ لَيَكُوْنُنَّ مِنَ الْغَافِلِيْنَ
“Hendaknya orang-orang berhenti meninggalkan
Jum’atan, atau (kalau tidak) Allah Subhanahu wata’ala akan menutup hati-hati
mereka, kemudian tentu mereka akan menjadi orang-orang yang lalai.” (HR.
Muslim dalam Shahih-nya, “Kitabul Jumu’ah”, dari Ibnu Umar dan Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhuma)
Apabila seseorang ditutup hatinya, dia akan lalai
melakukan amalan yang bermanfaat dan lalai meninggalkan hal yang memudaratkan
(membahayakan).
Hadits ini termasuk ancaman yang keras terhadap orang
yang meninggalkan dan meremehkan Jum’atan. Juga menunjukkan bahwa meninggalkannya
adalah faktor utama seseorang akan diabaikan oleh Allah Subhanahu wata’ala.
(lihat Subulus Salam 2/45)
Ancaman tersebut terarah kepada yang meninggalkan
Jum’atan tanpa uzur. Al-Imam ath-Thabarani rahimahullah meriwayatkandalam
al-Mu’jam al-Kabir dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya), “Barangsiapa
meninggalkan 3 Jum’atan tanpa uzur, dia ditulis sebagai golongan munafikin.”
(Shahih at-Targhib no. 728)
Atas Siapa Shalat Jum’at Diwajibkan?
Shalat Jum’at wajib atas golongan berikut :
1. Seorang muslim yang sudah baligh dan berakal
Dengan demikian, orang kafir tidak wajib Jum’atan,
bahkan jika mengerjakannya tidak dianggap sah. Allah Subhanahu wata’ala
berfirman,
وَمَا
مَنَعَهُمْ اَنْ تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ اِلَّآ اَنَّهُمْ
كَفَرُوْابِااللهِ وَبِرَسُوْلِهِ
“Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk
diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada
Allah dan Rasul-Nya.” (at-Taubah: 54)
Apabila Allah Subhanahu wata’ala tidak menerima
infak orang kafir padahal manfaatnya sangat luas, tentu ibadah yang manfaatnya
terbatas (untuk pelaku) lebih tidak terima. (lihat asy-Syarhul Mumti’
5/10)
Adapun anak kecil yang belum baligh tidak wajib
Jum’atan karena belum dibebani syariat. Meskipun demikian, anak laki-laki yang
sudah mumayyiz (biasanya berusia tujuh tahun lebih), dianjurkan kepada walinya
agar memerintahnya menghadiri shalat Jum’at. Hal ini berdasarkan keumuman sabda
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
مُرُوْا
الصَّبِيَّ بِالصَّ ةَالِ إِذَا بَلَغَ سَبْعَ سِنِيْنَ
“Perintahkan anak kecil untuk mengerjakan shalat
apabila sudah berumur tujuh tahun.” (HR. Abu Dawud dari Sabrah radhiyallahu
‘anhu. Al-‘Allamah al-Albani memasukkan hadits ini dalam Shahih al-Jami’)
Sementara itu, orang yang tidak berakal (gila) secara
total berarti dia bukan orang yang cakap untuk diarahkan kepadanya perintah
syariat atau larangannya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
رُفِعَ
الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ: عَنِ النَّائِم حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ
حَتَّى يَشِبَّ، وَعَنِ الْمَعْتُوْهِ حَتَّى يَعْقِلَ
“Pena terangkat dari tiga golongan : dari orang yang
tidur sampai dia bangun, dari anak kecil sampai dia dewasa, dan dari orang gila
sampai dia (kembali) berakal (waras).” (Shahih Sunan at-
Tirmidzi no. 1423)
Yang dimaksud dengan “pena terangkat” adalah tidak
adanya beban syariat.
2. Laki-laki
Maka dari itu, tidak wajib shalat Jum’at atas
perempuan, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
الْجُمُعَةُ
حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ اِ أَرْبَعَةً: عَبْدٌ
مَمْلُوْكٌ، أَوِ امْرَأَةٌ، أَوْ صَبِيٌّ، أَوْ مَرِيْضٌ
“Jum’atan adalah hak yang wajib ditunaikan oleh setiap
muslim secara berjamaah, kecuali empat orang: budak sahaya, wanita, anak kecil,
atau orang yang sakit.” (HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya no. 1067 dan dinyatakan
sahih oleh an-Nawawi rahimahullah dalam al-Majmu’ dan al-Albani rahimahullah
dalam al-Irwa’ No. 592)
Seseorang yang berkelamin ganda (ambiguousgenitalia,
keraguan alat kelamin, -red.) tidak wajib Jum’atan karena tidak terwujudnya
persyaratan pada dirinya. Orang yang seperti itu tidak diketahui apakah dia
laki-laki atau perempuan, padahal hukum asalnya seorang itu terbebas dari
tanggungan/kewajiban sampai yakin (adanya) persyaratan
yang menjadikan ia diwajibkan. Sementara itu, di sini belum terbukti adanya
persyaratan tersebut. (asy-Syarhul Mumti’ 5/7)
An-Nawawi rahimahullah berkata, “Teman-teman
kami (ulama mazhab Syafi’i) telah berkata, ‘Tidak wajib Jum’atan bagi orang
(yang berkelamin ganda) karena masih adanya keraguan tentang (syarat)
wajibnya’.” (al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab 4/350)
3. Orang yang merdeka, yaitu yang bukan budak sahaya
Dalam masalah ini, ulama berbeda pendapat. Mayoritas
ulama mengatakan bahwa budak sahaya tidak wajib Jum’atan berdasarkan hadits
yang telah disebutkan pada poin kedua. Hal ini juga dikarenakan manfaat diri
budak sahaya dimiliki oleh tuannya sehingga ia tidak leluasa. (lihat al-Majmu’
4/351, an-Nawawi rahimahullah, dan al-Mughni 3/214, Ibnu Qudamah)
Namun, sebagian ulama berpendapat, apabila tuannya
mengizinkannya untuk Jum’atan, dia wajib menghadiri Jum’atan karena sudah tidak
ada uzur lagi baginya. Pendapat ini yang dirajihkan (dikuatkan) oleh asy-Syaikh
Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin (asy-SyarhulMumti’ 5/9).
4. Orang yang menetap dan bukan musafir (orang yang
sedang bepergian)
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa musafir tidak wajib
Jum’atan. Di antara ulama tersebut adalah al-Imam Malik, ats-Tsauri,
asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, dan Abu Tsaur.
Di antara hujah (argumen) mereka, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam dahulu melakukan safar/bepergian dan beliau tidak shalat
Jum’at dalam safarnya. Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
menunaikan haji wada’ di Padang Arafah (wukuf) pada hari Jum’at, beliau shalat zhuhur dan ashar
dengan menjamak keduanya dan tidak shalat Jum’at. Demikian pula para
al-Khulafa’ ar-Rasyidin. Mereka safar untuk haji dan selainnya, dan tidak ada
seorang pun dari mereka yang shalat Jum’at saat bepergian. Demikian pula para
sahabat Nabi selain al-Khulafa’ ar-Rasyidin radhiyallahu ‘anhum dan yang
setelah mereka.” (al-Mughni 3/216, Ibnu Qudamah)
Di antara dalil yang paling jelas tentang tidak
wajibnya Jum’atan atas musafir adalah hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu yang
menyebutkan shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam di Padang Arafah di
hari Jum’at. Jabir radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Kemudian
(muazin) mengumandangkan azan lalu iqamah, Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam shalat zhuhur. Kemudian (muazin) iqamah, lalu shalat ashar.”
(Shahih Muslim, “Kitabul Hajj” no. 1218)
Adapun tentang musafir yang singgah atau menetap
bersama orang-orang mukim beberapa saat, sebagian ulama berpendapat
disyariatkannya Jum’atan atas mereka karena mereka mengikuti orang-orang yang
mukim.
Di antara hujahnya, dahulu para sahabat yang menemui
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan tinggal di Madinah beberapa hari,
yang tampak, mereka ikut shalat Jum’at bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam. (lihat asy-Syarhul Mumti’ 5/15)
Ulama juga mensyaratkan diwajibkannya Jum’atan atas
seseorang yakni dia tinggal dan menetap di mana pun mereka menetap dan dari apa
pun rumah mereka terbuat. Berbeda halnya dengan orang-orang badui yang
senantiasa berpindah-pindah tempat untuk mencari lahan yang banyak rumput dan
airnya. Orang yang seperti ini tidak wajib Jum’atan. (Lihat Fatawa Ibnu
Taimiyyah 24/166-167)
Karena tinggal menetap di suatu tempat adalah syarat
wajibnya Jum’atan, orang-orang yang bekerja di tengah laut seperti nakhoda,
anak buah kapal (ABK), dan para musafirin yang ada di atas kapal tidak wajib
Jum’atan. Bahkan, sebagian ulama mengatakan tidak sah jika mereka melakukan
Jum’atan, sebagaimana pendapat asy-Syaikh Muhammad bin Shalih
al-‘Utsaimin. Sebab, menurut petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam, Jum’atan itu tidak dilakukan selain di perkotaan atau perdesaan
yang memang tempat menetap. Adapun orang yang tengah berlayar, mereka tidak
menetap dan berpindah-pindah. Jadi, yang wajib atas mereka adalah shalat
zhuhur. (Lihat Fatawa Arkanil Islam karya asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin hlm.
391)
5. Orang yang tidak ada uzur/halangan yang mencegahnya
untuk menghadiri Jum’atan
Orang yang memiliki uzur, ada keringanan tidak
menghadiri shalat Jum’at dan menggantinya dengan shalat zhuhur.
Al-Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah menerangkan,
“(Kata) uzur sangat luas penjabarannya. Intinya adalah segala halangan yang
mencegah seseorang menghadiri pelaksanaan Jum’atan. Bisa jadi, hal itu berupa
sesuatu yang mengganggunya, misalnya ada kezaliman yang dikhawatirkannya, atau
bisa menggugurkan suatu kewajiban yang tidak ada seorang pun yang bisa
menggantikannya. Di antara uzur tersebut adalah (takut dari) penguasa zalim
yang akan berbuat kezaliman, hujan deras yang terus-menerus, sakit yang
mencegahnya, dan semisalnya. Termasuk uzur juga adalah seseorang yang mengurusi
jenazah yang tidak ada yang mengurusinya selain dia, yang apabila dia
tinggalkan, jenazah itu akan tersia-siakan dan rusak. (at-Tamhid
16/243-244)
6. Orang yang sakit
Dalilnya telah berlalu pada pembahasan orang yang
tidak wajib Jum’atan.
Yang dimaksud sakit yang diberi keringanan di sini
adalah apabila si sakit menghadiri Jum’atan, ia akan menemui kesulitan yang
nyata, bukan sekadar perkiraan. Maka dari itu, masuk pula dalam hal ini adalah
seseorang yang terkena diare berat. (al-Majmu’, an- Nawawi, 4/352)
Di antara uzur yang membolehkan meninggalkan Jum’atan
dan menggantinya dengan shalat zhuhur adalah seorang yang diberi tanggung jawab
atas sebuah tugas yang berkaitan dengan keamanan umat dan kemaslahatannya. Dia
dituntut untuk melaksanakan tugas tersebut di waktu
shalat Jum’at, seperti aparat keamanan, petugas
pengatur lalu lintas, dan petugas operator telekomunikasi.
Demikian pula dokter piket (dokter jaga) di rumah
sakit atau klinik kesehatan, yang jika ia meninggalkan tugasnya untuk shalat
Jum’at diperkirakan akan berdampak pada lambannya penanganan terhadap pasien
yang membutuhkan pertolongan segera sehingga bisa mengancam keselamatan pasien.
(Lihat Fatawa al-Lajnah ad-Daimah, 8/189-192)
Khutbah, Syarat Sahnya Jum’atan?
Untuk sahnya shalat Jum’at haruslah didahului oleh
khutbah. Hal ini karena tidak ada riwayat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam yang menerangkan bahwa beliau shalat Jum’at tanpa didahului oleh
dua khutbah.
Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan,
“Sesungguhnya khutbah adalah syarat dalam Jum’atan. Tidak sah Jum’atan tanpa
adanya khutbah. Ini adalah pendapat ‘Atha, an-Nakha’i, Qatadah, ats-Tsauri,
asy-Syafi’i, Ishaq, Abu Tsaur, dan Ashabur Ra’yi. Kami tidak mengetahui ada
yang menyelisihinya selain al-Hasan (al-Bashri). Ia berkata, ‘Sah shalat Jum’at
semuanya, apakah imam berkhutbah atau tidak, karena shalat Jum’at adalah shalat
hari raya sehingga tidak disyaratkan adanya khutbah seperti shalat Idul Adha’.”
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Dalil kami
adalah firman Allah Subhanahu wata’ala,
فَاسْعَوْا
اِلٰى ذِكْرِ اللهِ
“Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah’.”
(al-Jumu’ah: 9)
Zikir (di sini) adalah khutbah. (Dalil yang lain),
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah
meninggalkan khutbah Jum’at dalam keadaan apa pun,
padahal beliau bersabda,
صَلُّوْا
كَمَا رَأَيْتُمُوْنِي أُصَلِّي
“Shalatlah kalian sebagaimana melihat aku shalat.”
(al-Mughni, 3/170-171)
Waktu Shalat Jum’at
Mayoritas ulama berpendapat bahwa waktu shalat Jum’at
sama dengan waktu shalat zhuhur, yaitu dari tergelincirnya matahari hingga
masuknya waktu ashar.
Hal ini berdasarkan hadits Anas bin Malik radhiyallahu
‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam shalat Jum’at ketika
matahari telah condong (ke barat). (HR. al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 904)
Disebutkan juga dalam hadits Salamah bin al-Akwa’ radhiyallahu
‘anhu, ia berkata, “Dahulu kami shalat Jum’at bersama Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam ketika matahari telah tergelincir.” (Shahih Muslim, “Kitab
al-Jumu’ah”)
Demikian pula diriwayatkan dari Umar, Ali, an-Nu’man
bin Basyir, dan ‘Amr bin Huraits radhiyallahu ‘anhum bahwa mereka shalat
Jum’at setelah tergelincirnya matahari. (Fathul Bari 2/387)
Namun, ada pendapat yang menyatakan bolehnya shalat
Jum’at sebelum tergelincirnya matahari, seperti pendapat al-Imam Ahmad rahimahullah
dan selainnya. Landasan pendapat ini adalah hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu
‘anhuma, ia berkata,
كَانَ
رَسُوْلُ اللهِ صل الله عليه وسلم يُصَلِّي الْجُمُعَةَ ثُمَّ نَذْهَبُ إلَى
جِمَالِنَا فَنُرِيْحُهَا حِيْنَ تَزُوْلُ الشَّمْسُ
“Adalah Rasulullah shalat Jum’at kemudian kami pergi
menuju unta-unta (pembawa air) kami, lalu kami mengistirahatkannya ketika
tergelincirnya matahari.” (HR. Muslim dalam “Kitabul Jumu’ah”)
Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam shalat Jum’at sebelum tergelincirnya matahari, karena para
sahabat mengistirahatkan unta-unta pembawa air mereka setelah Jum’atan di saat
matahari tergelincir. Dengan demikian, tentu pelaksanaan shalat Jum’at terjadi
sebelumnya.
Telah dinukil dari sebagian salaf (yakni sahabat Nabi)
tentang pelaksanaan shalat Jum’at sebelum tergelincirnya matahari.
Di antaranya adalah atsar Bilal al-‘Absi bahwa ‘Ammar
(bin Yasir) radhiyallahu ‘anhuma shalat Jum’at mengimami manusia. Para
jamaah waktu itu (pendapatnya) menjadi dua kelompok. Sekelompok mengatakan
(bahwa shalatnya) sesudah matahari tergelincir dan sekelompok yang lain
mengatakan sebelum tergelincir.
Demikian pula atsar dari Abu Razin. Dia berkata,
“Dahulu kami shalat Jum’at bersama Ali (bin Abi Thalib). Terkadang kami telah
mendapati adanya bayangan dan terkadang kami belum mendapatinya.” (Kedua atsar
ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan dinyatakan sahih oleh
al-Albani dalam al-Ajwibah an-Nafi’ah hlm. 25)
Tentang hadits-hadits yang menyatakan Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam shalat Jum’at setelah
tergelincirnya matahari, pendapat ini menjawab bahwa
hal itu tidak menafikan bolehnya shalat Jum’at sebelumnya. (Nailul Authar
3/310)
Kesimpulannya, shalat Jum’at sebelum/menjelang
tergelincirnya matahari itu boleh sebagaimana jika dilakukan setelah
tergelincirnya matahari. Pendapat ini pula yang dikuatkan oleh asy-Syaikh
al-Albani (seperti dalam al-Ajwibah an-Nafi’ah hlm. 25).
Wallahu a’lam.